BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para
wanita Arab sebelum datangnya Islam telah mempunyai hak dan kesempatan belajar
yang terkenal pada masa itu, maka di kalangan wanita telah terdapat
wanita-wanita tukang tenung dan penyai’r-penya’ir dan orang-orang yang
mempunyai pengetahuan dalam menulis. Di dalam buku-buku yang berbahasa Arab
disebutkan banyak sekali nama-nama wanita yang terkenal pada masa
jahiliyah dan masa permulaan Islam.
Pendidikan
wanita dalam Islam tidak terlepas pada sejarah awal penyebaran Islam di
masa Nabi Muhammad SAW, Islam mengajarkan persamaan status pria dengan
wanita dalam aspek-aspek spritual dan kewajiban keagamaan dan yang membedakan
adalahnya akhlak yang baik dan buruk. Sebagaimana di contohkan pada masa Nabi
masih hidup seorang wanita bangsawan dan berketurunan tinggi dari kalangan
Quraisy penah mencuri dan karenanya ia dikenakan hukuman. Dan ada
seseorang yang ingin membelanya. Kemudia Nabi mengambil sikap, seraya
berkata, “apakah engkau akan membela seseorang dalam hukum yang telah
ditentukan Tuhan ?”. Selanjutnya beliau berpidato yang isinya menyebutkan.
”Wahai manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu menjadi sesat, karena
apabila seorang bangsawan mencuri, mereka membiarkannya, dan apabila
orang-orang lemah mencuri mereka menegakan hukum terhadapnya, Demi Allah
sekiranya Fathimah anaka Muhammad mencuri, Muhammad akan memotong tangannya”.
Kalau kita
teliti tentang kandungan matan hadits diatas, sangat jelas kedudukan wanita dan
pria sama kedudukannya dalam hukum. Demikian pula dalam keagamaan, mereka akan
mendapat pahala yang sama. Allah menegaskan posisi wanita dalam Al Quran
sebagai berikut :
“Dan para wanita mendapat hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruk. Akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan dari pada isterinya”
Akan
tetapi dalam praktek persamaan spiritual, tidak selalu disertakan dengan
persamaan dalam bidang intelektual di antara wanita dan pria. Hal ini dapat
kita lihat kadang-kadang dalam bidang pendidikan. Studi tentang pendidikan bagi
wanita dalam umat Islam memperlihatkan dua pendapat yang berbeda yaitu yang
menerima dan bahkan yang menolak.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakan pendidikan wanita pada
masa Nabi SAW ?
C.
Tujuan Penulisan
Dari
rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah :
Mengetahui
bagaimana pendidikan wanita pada masa Nabi SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendapat
yang menolak pendidikan wanita
Para ulama
yang menolak pendidikan wanita , yaitu tidak boleh mengajar wanita selain agama
dan Al Quran, dan dilarang mengajarkan menulis. Wanita yang diberi pelajaran
menulis diserupakan dengan ular yang menghirup racun. Pendukung pendapat ini
mengambil dasar dari Ali bin Abi Thalib yang menjumpai seorang pria yang sedang
mengajarkan menulis kepada seorang wanita, lalu beliau menegur, “jangan kamu
menambah kejahatan dengan kejahatan.” Selanjutnya pendukung pendapat ini
meriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khattab melarang wanita belajar menulis. Disamping
itu mereka menisbahkan para wanita dengan kekurangan dari segi akal dan agama,
dan kekurangan ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak boleh
mengajarkan pengetahuan kepada para wanita.
B.
Pendapat
yang memperbolehkan pendidikan wanita
Para
pendukung yang memberi pengajaran kepada wanita dengan menggunakan dalil-dalil
dari hadits Nabi yang menganjurkan untuk memberi pengajaran kepada
wanita, sebagian dari hadits tersebut ialah, “menuntut ilmu diperlukan atas
setiap muslim dan muslimah”. “setiap orang yang memilki walidah (hamba) dan
mengajarkannya serta mendidiknya, kemudian ia memerdekakannya dan mengawininya,
maka ia akan mendapat dua buah pahala.”
C. Sejarah Kemajuan Pendidikan Wanita
a) Pendidikan Wanita Pada masa
Nabi SAW
Pada zaman
Nabi SAW, wanita mulai mendapatkan kedudukan yang terhormat dan sederajat
dengan kaum pria, karena sebelumnya pada zaman jahiliyah, kaum wanita
mendapatkan kedudukan yang sangat rendah dan hina, hingga kelahiran seorang
anak perempuan dalam keluarga dianggap suatu yang aib dan harus membunuh anak
itu semasa bayi.
Pada masa
ini, Nabi meyamakan kedudukan wanita dan pria dalam hal menuntut ilmu
sebagai manifestasi ayat ini diriwayatkan pula dari Nabi s.a.w bahwa beliau
menganjurkan agar istrinya diajarkan menulis, dan untuk ini beliau berkata kepada
Asy-Syifa’ (seorang penulis di masa jahiliyah) tidak maukah Anda mengajar
mantera kepada Hafsah sebagaimana engkau telah mengajarkannya menulis.
b)
Pendidikan Wanita Pada masa Sahabat
Pada masa
ini telah banyak bermunculan ahli ilmu agama dan pengetahuan, seperti Sitti
Hafsah isteri Nabi pandai menulis, dan ‘Aisyah binti Sa’ad juga pandai menulis.
Siiti Aisyah isteri Nabi pandai membaca Al Quran dan tidak pandai menulis
tetapi beliau adalah seorang ahli fiqh yang terkenal sebagaimana diakui oleh ‘Urwah
bin Zuabair seorang ahli fiqh yang termasyhur dalam hal ini beliau
berkata : “belum pernah saya melihat seorang yanglebih ‘alim dalam ilmu Fiqh,
ilmu kedokteran dan ilmu syi’ir selain dari ‘Aisyah”. Kemudian adapula Ummu
Salamah dapat membaca dan tidak pandai menulis, Al-Khansa’ seorang penyair yang
loyal, nasionalis dan pejuang. Hindun binti ‘‘tabah, Laila binti Salma dan
Sitti Sakinah binti al-Husain, seorang ahli yang mahir dalam bidang sya’’r.
Demikian pula ‘Aisyah binti Talhah seorang yang ahli dalam kritik syi’ir.
Pada masa
kemelut politik pertentangan antara Khalihah Ali dengan Mu’awwiyah, ada
beberapa wanita yang terkenal ikut dalam kancah politik, seprti Hindun binti
‘Idi bin Qais, ‘Akrasyah binti al-Athrusy dll yang mereka itu membantu ‘Ali
melawan Mu’awiyah. Setelah itu Mu’awiyah tertarik menggunakan wanita dalam
kancah politik kerajaan, maka tersebutlah al-Khaizuran dan Syajaratud-Durr.
c)
Pendidikan Wanita Pada masa Dinasti
Abasiyah
Pada masa
ini, agama Islam telah tersebar luas, demikian juga kebudayaan serta kemajuan
pada masa Bani Abbas di bagian Timur dan Barat, telah memunculkan para wanita
yang ikut serta dalam kegiatan intelektual dan kesenian, pengatahuan agama,
sastera dan kesenian. Para budak wanita mempunyai kesempatan yang besar
untuk mempersiapkan diri dalam bidang satera dan kesenian sehingga harga
budak wanita menjadi lebih tinggi sesuai dengan kecakapan yang dimilkinya.
Wanita-wanita yang terkenal dalam bidang pengetahuan dan syi‘ir antara lain, ‘Aliyah
binti al-Mahdi, Fadhlun, ‘Aisyah binti Ahmad bin Qadim al-Qurthubiyah, Lubna,
Walladah binti al-Khalifah al-Mustakfi Billah, Qamar.
Sebagian wanita adapula yang ahli dibidang ilmu agama dan
hadits dan para sarjana wanita Muslimah yang terkenal jujur dalam ilmu dan
amanah dalam riwayatnya. Seorang ahli hadits yang terbesar bernama Al-Hapiz
az-Zahabi dalam menyaring rijalul hadits yang telah mengeluarkan hadits
sebanyak 4000 perawi hadits dan dalam hal ini beliau berkata, “saya tidak
melihat dari kalangan wanita orang yang terkena tuduhan dan tidak pula
orang-orang yang mencoreng nama mereka (sebagai perawi hadits yang terpercaya).
Wanita-wanita yang terkenal dalam perawi hadits adalah Karimah Al-Marwaziyah
dan Sayyidah Al-Wuzara’.
Ibnu Abi Ushaibi’ah menyebutkan dalam bukunya Thabaqatul
Athibba’ tentang dua orang wanita yang bekerja sebagai dokter dan mereka
mengobati wanita-wanita istna Khalifah al-Mansur di ANdalus. Diantara mereka
andalah Zainab, seorang dokter mata yang terkenal dari Bani Uwad.
Apabila kita bandingkan kondisi pendidikan dan peranan
wanita Islam abad pertangahan dengan wanita yang ada di Eropa Kristen
maka akan sangat terlihat perbedaan yang mencolok, di Griek (Eropa) kecuali
Sparta dan Plato, saat itu wanita tidak diberikan persamaan hak dalam pendidikan
dan sosial sebagai mana yang diperoleh oleh laki-laki, mereka menganggap wanita
sebagai benda yang dapat menjamin kepuasan dan kesenangan mereka, walaupun
mereka mencapai peradaban yang tinggi dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan.
BAB III
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan makalah ini, Islam memberikan persamaan
hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu bagi waita sebagaimana laki-laki, namun
yang menjadi perhatian khusus adalah tentang penekan pendidikan akhlaq. Sebagai
contoh Ibnu Urdun berpendapat bahwa nak-anak perempuan harus mempelajari shalat
dan agama serta menambahkan pelajaran-pelajaran yang lain, akan tetapi ia tidak
sepakat mengajarkan syi’ir dan menulis kepada anak perempuan, serta ia tidak
menyetujui memberikan pendidikan anak perempuan bersama-sama dengan anak
laki-laki dalam sebuah tempat, meskipun ada pendapat yang membolehkan belajar
bersama-sama antara anak perempuan dan anak laki-laki.
Daftar Pustaka
Fahmi,
Asma Hasan,.Dr, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bulan
Bintang, Jakarta 1979
Zuhairini,
Dra, dkk Sejarah Pendidikan Islam, , Bumi Aksara
bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Lembaga Pengembangan Pendidikan Islam
Departemen Agama, Jakarta, 1999
Soekarno
dan Ahmad Supardi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, Angkasa
Bandung, 1983